Selasa, 04 November 2008

MENEGASKAN JATI DIRI PAMONG BELAJAR

Terdapat ambiguitas jati diri pamong belajar manakala kita simak berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Perhatikan saja Undang-undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada pasal 1 ayat 6 pamong belajar dinyatakan berkedudukan sebagai pendidik. Adapun bunyi lengkap ayat tersebut adalah “Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.” Sementara itu pada penjelasan pasal 39 ayat 1 disebutkan bahwa tenaga kependidikan meliputi pengelola satuan pendidikan, penilik, pamong belajar, pengawas, peneliti, pengembang, pustakawan, laboran, dan teknisi sumber belajar. Dengan demikian posisi pamong belajar secara yuridis diakui sebagai pendidik dan sekaligus tenaga kependidikan.

Posisi ini akan mengantarkan kita pada perdebatan manakala penyusunan standar kompetensi pamong belajar dilakukan. Itu pun kalau kita menyadari adanya ambiguitas status yuridis pamong belajar. Terlepas dari adanya anggapan bahwa penyusunan undang-undang kurang cermat, status yuridis ini mesti segera diselesaikan.
Namun sungguh lebih disayangkan posisi pamong belajar seakan semakin termarjinalkan apabila kita mencermati Peraturan Pemerintah nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah tersebut sebagai turunan Undang-Undang Sisdiknas pada Bab VI yang berisi tentang Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan tidak mengatur pamong belajar. Justru tutor kejar paket dan instruktur malah diatur mulai dari pengertian hingga kualifikasi yang disyaratkan.

Dari berbagai produk hukum ini menunjukkan bahwa kita sebagai insan PTK PNF masih berada pada posisi tawar yang lemah. Atau kalau mau jujur: apakah ini sebuah refleksi bahwa pamong belajar memang tidak populer atau tidak dikenal oleh para penyusun draft UU atau PP? Atau justru kinerja pamong belajar yang memang belum dikenal oleh para pemangku kepentingan sehingga menjadi manusia yang terlewatkan dalam pembahasan peraturan pemerintah? Semestinya rumusan pamong belajar masuk pada pasal 30 Peraturan Pemerintah nomor 19 Tahun 2005 bersanding dengan rumusan tutor dan instruktur kursus.
Lucunya lagi, pada pasal 40 diatur rumusan tentang penilik sebagai pengawas pendidikan nonformal, dimana syarat minimal menjadi penilik di antaranya adalah berstatus pamong belajar (pasal 40 ayat 1 dan ayat 2). Lucu karena di bagian standar pendidik tidak diatur rumusan tentang pamong, namun sekonyong-konyong muncul pada pasal 40 ayat 2 yang mengatur kualifikasi pengangkat penilik.

Saya kurang tahu persis berapa banyak pemangku kepentingan yang sadar akan kurang jelasnya status pamong belajar secara yuridis. Jangan-jangan justru sebagian besar pamong belajar tidak menyadari akan tidak jelasnya status hukumnya!! Untuk itulah pamong belajar melalui Forum Pamong Belajar Indonesia (FPBI) perlu melakukan upaya pendekatan agar pamong belajar memiliki status hukum yang jelas. Manakala payung hukum tidak jelas bukan tidak mungkin berbagai upaya penentuan standar kompetensi, uji kompetensi, sertifikasi pamong belajar akan menemui kendala.

Berdasarkan pengalaman proses penyusunan dua produk hukum di atas, maka kita harus cermat karena pada saat yang sama disusun draft revisi jabatan pamong belajar dan draft standar kompetensi pamong belajar. Akan sangat lucu lagi jika akhirnya terjadi ketidaksinkronan antara uraian tugas pokok pamong belajar dan rumusan standar kompetensi pamong belajar jika kedua-duanya sudah menjadi peraturan setingkat menteri (Permenpan dan Permendiknas). Lebih lucu lagi karena kedua draft tersebut disusun melibatkan dua tim dalam satu direktorat (Dit PTK PNF).

Oleh karena kedua tim penyusun draft tersebut perlu melakukan komunikasi sehingga terdapat kepaduan antara kedua produk hukum itu nantinya.
Suasana batin dan wacana yang berkembang saat ini bermaksud memposisikan pamong belajar sebagai pendidik. Untuk itulah ke depan perlu dibangun pemikiran bahwa perumusan standar kompetensi pamong belajar menggunakan dasar pijak bahwa pamong belajar termasuk “genus” pendidik. Rumusan lebih lanjut uraian tugas pokok pamong belajar dan standar kompetensinya akan sangat mempengaruhi termasuk “spesies” apakah pamong belajar itu. Status pamong belajar sebagai pendidik diharapkan akan ikut mendekatkan dengan berbagai kebijakan yang akan dikenai guru sebagai pendidik pada jalur pendidikan formal. Misalnya masalah uji kompetensi, sertifikasi profesi dan peningkatan kesejahteraan yang akan diperoleh pamong belajar diharapkan menjadi satu paket dengan kebijakan yang dikenai kepada guru.
Namun demikian kebijakan satu paket, sebagai dahulu biasa dilakukan dalam pemberian tunjangan kependidikan dalam bentuk Keputusan Presiden, akan sulit dilakukan manakala kita belum dapat menuntaskan berbagai kebijakan mengenai standar kompetensi pamong belajar, uji kompetensi dan sertifikasi profesi pamong belajar. Sementara itu kebijakan yang diberlakukan bagi guru sudah dua tiga langkah di depan kebijakan bagi pamong belajar.

Oleh karena itu penegasan jati diri pamong belajar sebagai pendidik akan mempercepat rumusan kompetensi pamong belajar. Di samping itu perlu diperhatikan posisi pamong belajar pada SKB, BPKB, BPPNFI, dan PPPNFI yang masing-masing memiliki karakter kinerja yang berbeda. Pamong belajar SKB lebih diorentasikan pada uraian tugas pokok melakukan proses pembelajaran walaupun tidak diharapkan untuk melakukan tugas pokok kedua (mengembangkan pembelajaran); sebaliknya pamong belajar pada BPKB, BPPNFI dan PPPNFI lebih diorientasikan pada tugas pokok mengembangkan model pembelajaran disamping dapat melakukan tugas pokok melakukan proses pembelajaran.

Memperhatikan definisi bahwa kompetensi adalah kemampuan yang ditunjukkan seseorang dalam menyelesaikan tugas-tugas tertentu berdasarkan standar yang telah ditetapkan. (Craigh, 1987:227, Deakin, 1994:139). Maka rumusan tugas pokok pamong belajar sebagaimana akan diatur dalam Permenpan yang mengatur Jabatan Fungsional Pamong Belajar dan Angka Kreditnya hendaknya menjadi acuan dalam mengembangkan uraian kompetensi pamong belajar. Di samping itu perubahan yang berkembang di masyarakat perlu diperhatikan agar pamong belajar tidak semakin terpinggirkan.

Ditulis oleh Fauzy Eko Pranyono (BPKB, DIY, Yogyakarta) - dikutip Oleh Dolly FS Riwu Kaho-Ballo

1 komentar:

Anonim mengatakan...

PERLINDUNGAN CAGAR ALAM MUTIS TIMAU SEBAGAI DAERAH HULU DAS
DENGAN PENGATURAN WAKTU MEMBAKAR & PENGATURAN PENGGEMBALAAN

Dewasa ini kesadaran akan arti pentingnya pengelolaan DAS semakin meningkat seiring dengan bahaya banjir pada musim hujan dan penurunan debit sungai yang ekstrem pada musim kemarau yang semakin masif terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Dalam pengelolaan ekosistem DAS itu sendiri dikenal 3 area yaitu daerah hulu, tengah dan hilir. Ekosistem hulu DAS merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS. Perlindungan ini, antara lain, dari segi tata air. Oleh karena itu, DAS hulu seringkali menjadi focus perencanaan pengelolaan DAS mengingat bahwa dalam suatu DAS, daerah hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi (Asdak, 2007). Lebih lanjut penulis yang sama menyatakan, daerah hulu DAS memiliki ciri-ciri sebagai berikut : merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase yang lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lereng yang besar (lebih besar dari 15%), bukan merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase, dan jenis vegetasi umumnya berupa tegakan hutan.
Meskipun masih terjadi perbedaan pendapat tentang fungsi hutan dari segi menjaga tata air, dimana anggapan bahwa keberadaan hutan akan mencegah terjadinya banjir masih bersifat debatable. Akan tetapi, secara umum peranan hutan dalam menurunkan bahaya banjir adalah melalui peran perlindungannya terhadap permukaan tanah dari gempuran tenaga kinetis air hujan yang dapat menyebabkan erosi melalui penahanan permukaan (surface detention) oleh tajuk-tajuk tanaman sehingga hanya sebagian air hujan yang jatuh melalui air lolos yang kemudian masih tertahan lagi oleh seresah organic di lantai hutan. selain itu, keberadaan hutan memberikan tambahan kapasitas daya tamping air dan meningkatkan infiltrasi.
Terkait dengan itu, Kawasan Hutan Cagar Alam (CA) Mutis-Timau, seluas ± 75.000 ha + 12 .000 ha yang ditetapkan sebagai kawasan inti CA sebagai daerah hulu DAS Benain-Noelmina merupakan daerah tangkapan hujan (catchment area) sudah seharusnya menjadi point of view para pengelola DAS di NTT. akan tetapi, menjadi ironi ketika vegetasi utama di cagar Alam Mutis Timau didominasi oleh semak/belukar dengan lahan terbuka 64 % dan lahan berpenutupan 36 %. Gambar di bawah ini akan menunjukkan land cover di kawasan cagar alam Mutis Timau.

Gambar 1. Land cover (penutupan lahan) cagar alam Mutis Timau (Fordas NTT, 2005).

Perluasan lahan kritis yang didominasi oleh vegetasi semak/belukar ini disebabkan oleh beberapa hal, akan tetapi dua penyebab yang menarik untuk disimak adalah penggembalaan bebas dan budaya tebas-bakar (slash & burn cultivation). Disebut menarik oleh karena penggunaan api dalam budaya tebas-bakar tadi tidak begitu saja dapat dihilangkan. Nuningsih (1990), Ataupah (2000) dan Therik (2000) menyatakan bahwa penggunaan api dalam sistem pertanian Savana Timor memiliki dua alasan penting, yaitu alasan kultutral dan alasan ekonomis. Dalam kerangka pikir kultural, api dipandang sebagai bentuk live giving force penunjang perikehidupan setiap hari. Sedangkan dalam kerangka pikir ekonomi, api dipandang sebagai bentuk input tenaga kerja dan energi yang mudah dan murah. Riwu Kaho, L. M (2005) dalam penelitiannya pada savanna eucalyptus di Timor Barat pun memberi pembenaran pengunaan api tidak hanya dari segi cultural dan ekonomis, akan tetapi juga dari segi budaya bertani dimana api digunakan sebagai salah satu input produksi pertanian di lahan kering. Dalam perspektif penggembalaan sebagai salah satu penyebab degradasi lahan di NTT, maka Suriamihardja (1987), seorang peneliti kehutanan di Balai Penelitian Kehutanan Kupang, memperingatkan tentang bahaya penggembalaan lepas terhadap kondisi hutan di NTT. Sumardi dan Widyastuti (2001), memperingatkan tentang bahaya penggembalaan di hutan dimana sebagai salah satu solusi yang diberikan oleh penulis ini yaitu melarang sama sekali penggembalaan di hutan. Semua saran tersebut pada dasarnya dilakukan dengan rationale yang kuat, akan tetapi, terjadi kerumitan ketika pemeliharaan ternak bagi orang Timor memiliki arti sosio-kultural yang tidak kalah pentingnya di bandingkan dengan nilai ekonomi pasar. Ataupah (2000) menyatakan bahwa kepemilikan ternak oleh orang Timor menandakan status sosial pemiliknya. Bahkan ternak dianggap sebagai penyeimbang atau harmonisasi dalam hubungan manusia dengan alam sekitarnya oleh karena itu wajib ternak dihargai haknya untuk menjelajah bebas di padang rumput sembari pemiliknya mengambil manfaat dalam bentuk show of force dari kekuasaan dan kekayaannya. Oleh karena alasan-alasan tersebut sehingga lebih tepat apabila penggunaan api dan penggembalaan bebas yang terjadi pada CA Mutis Timau harus dikelola daripada harus dihilangkan sama sekali.
Pengendalian api dalam system tebas-bakar merupakan upaya pengendalian terhadap beberapa faktor sekaligus. Riwu Kaho, L. M (2005) dalam hasil penelitiannya menyatakan di antara tiga tingkat faktor yang diujicobakan yaitu musim membakar, jam membakar dan topografi, ternyata untuk mengendalikan intensitas api cukup dua faktor saja yang harus mendapat perhatian, yaitu faktor musim membakar dan jam membakar. Artinya, kebakaran savana dapat menghasilkan intensitas api yang berbeda karena musim dan jam pembakaran yang berbeda. Dengan kondisi seperti savana di Timor, faktor topogrfi dapat diabaikan. Artinya, bahaya kebakaran dapat sama tinggi atau sama rendah pada semua tingkat topografi. Sementara itu, secara tradisional petani savana di Timor melakukan pembakaran pada akhir musim kemarau dan dilakukan pada siang hari. Kemudian, bentuk lahan yang disukai untuk dibuka sebagai tempat berladang adalah lahan dengan kemiringan yang tidak landai (steep slope) dengan harapan bahwa tempat seperti ini lebih subur, lebih lembap dan aman (Nuningsih, 1990; Ataupah, 2000; dan Therik, 2000). Dengan berbekal pengetahuan tersebut, maka dalam penelitian akan kembali diuji apakah pengendalian waktu membakar seperti yang telah diujicobakan Riwu Kaho, L.M (2005) pada ekosistem savanna eucalyptus savanna akan menghasilkan hasil yang sama pada CA Mutis Timau sehingga suatu system peringatan dini (early warning system) seperti yang ditemukan penulis yang sama dapat diterapkan dalam pengelolaan CA Mutis Timau.
Setelah dilakukan pengkajian pengendalian api, masalah kedua yang coba akan dikaji dalam penelitian ini yaitu pengelolaan penggembalaan di CA Mutis Timau. Pilihan untuk mengelola penggembalaan lebih tepat diambil ketika solusi mencegah sama sekali masuknya ternak ke dalam hutan terasa tidak sesuai dengan kondisi social-budaya masyarakat Timor, khusus masyarakat adat di sekitar CA Mutis Timau. Selain itu, solusi ternak harus dikandangkan oun masih tidak tepat karena konsep kandang bagi orang Timor adalah sebagai “rumah dari ternak” (Bahasa Timor kandang : O’of) sehingga bentuk penggembalaan yang intensif tidak dilakukan, tidak jarang ternak diumbar bebas 2-3 hari kemudian baru dimasukan kedalam kandang (Riwu Kaho., L. M, 1986). Oleh karena itu, pengelolaan penggembalaan yang akan dicobakan dalam penelitian ini dilakukan dengan dua cara yaitu : mengatur tekanan penggembalaan dan system penggembalaan bergilir. Dalam perspektif range management, tekanan penggembalaan (TP) yaitu jumlah unit ternak yang digembalakan pada sejumlah lahan yang tersedia di suatu areal rangeland dalam waktu. Menentukan TP perlu disesuaikan dengan kapasitas tamping (KT) lahan yang bersangkutan. Dimana apabila TP yang telah melebihi KT menyebabkan over grazing yang mengakibatkan hilang atau matinya sebagian atau semua vegetasi yang ada (Donnie, 1989 dalam Sumardi & Widyastuti, 2004). Lebih lanjut, penulis yang sama menyatakan penggembalaan bergilir yaitu pengelolaan hutan penggembalaan permanen untuk memanfaatkan rumput sebaik-baiknya serta memberikan waktu yangh cukup pada rumput untuk tumbuh kembali agar kerapatan vegetasi dapat dipertahankan. Oleh karena itu, dengan hasil yang didapat dari kedua aspek yaitu pengendalian api dan pengendalian penggembalaan ini diharapkan mampu menjadi panduan pengelolaan CA Mutis Timau ke depan.